Pemberitaan media akhir-akhir ini sering menyoroti banyaknya kasus perselisihan rumah tangga khususnya di kalangan selebriti yang pada akhirnya berujung pada perceraian. Apakah fenomena ini hanya terjadi di kalangan selebritis saja? Bagaimana halnya dikalangan aparatur negara atau pegawai negeri? Bagaimana dengan Kabupaten Sleman? Apakah juga terjadi kasus perceraian? Data berikut akan memberikan gambaran mengenai hal tersebut.
Pada tahun-tahun sebelumnya sampai dengan tahun 2010, perceraian di kalangan pegawai negeri sipil rata-rata 10 sampai dengan 12 orang per tahun, artinya jika dirata-rata dalam satu bulan terjadi 1 kasus perceraian. Namun sejak tahun 2011, angka perceraian di kalangan pegawai negeri sipil mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal itu tercermin dari banyaknya pegawai negeri sipil yang mengajukan izin atau surat keterangan untuk melakukan perceraian. Data tersebut juga menunjukkan bahwa dari 137 kasus perceraian sebanyak 99 orang atau 72% berkedudukan sebagai penggugat atau yang berinisiatif mengajukan gugatan cerai terhadap pasangannya.
Perceraian di kalangan pegawai tidak hanya terjadi pada usia-usia perkawinan yang dianggap rawan (5-10 tahun) saja, bahkan pada tahun 2013 – 2014 terjadi beberapa kasus pada usia perkawinan di bawah 2 tahun, dan beberapa kasus pada perkawinan di atas 25 tahun menjelang PNS yang bersangkutan memasuki masa purna. Diantara beberapa penyebab terjadinya perceraian adalah hadirnya pihak ketiga (perselingkuhan), persoalan ekonomi, pertengkaran yang terus menerus atau salah satu pihak meninggalkan pihak lain (pisah rumah).
Dalam aspek pembinaan, terjaganya keharmonisan rumah tangga menjadi kondisi yang sangat penting dalam mendukung keberlangsungan daya produktivitas aparatur. Kondisi rumah tangga yang tidak sehat dan sering terjadi konflik hampir dapat dipastikan mengganggu ketenangan pegawai dalam bekerja. Disamping itu permasalahan yang timbul dalam rumah tangga kerap memicu permasalahan lain, seperti perselingkuhan, melakukan pinjaman untuk memenuhi kebutuhan atau sekedar gaya hidup sehingga harus menanggung hutang yang menggunung, motivasi kerja yang turun sehingga tidak jarang melanggar ketentuan disiplin pegawai. Tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan diluar kantor acap kali menjadi stressor pegawai.
Seorang pegawai pada dasarnya berada dalam 2 (dua) kedudukan yang merupakan 2 (dua) sisi mata uang. Disatu sisi pegawai negeri merupakan individu dengan berbagai peran yang disandangnya dalam kedudukannya sebagai anggota masyarakat, sebagai anggota atau kepala rumah tangga dan lain-lain, dimana dalam interaksi ini sering timbul masalah-masalah atau konflik-konflik non kedianasan yang sering memicu stress dan mengganggu kerja.
Disisi yang lain, sebagai pegawai negeri ia berada dalam kedudukannya sebagai aparatur negara yang banyak bersinggungan dengan berbagai kebijakan, layanan, kepentingan dan interaksi secara organisatoris yang tentu juga sering menimbulkan konflik.
Dalam kedudukannya tersebut, pegawai negeri sangat rentan terhadap permasalahan sebagai pemicu stress (stressor) baik yang dihadapi di kantor (stressor on the job) maupun ketika di rumah atau di luar kantor (stressor off the job). Beberapa stressor tersebut, antara lain dapat diidentifikasi sebagai berikut :
Permasalahan-permasalahan tersebut jika dihadapi oleh pegawai dan telah berimbas pada menurunnya tingkat kedisiplinan, menurunnya motivasi kerja, menurunnya produktivitas, maka pembinaan kemudian menjadi salah satu hal yang dipandang dapat memberikan solusi.
Suatu pembinaan sesungguhnya tidak harus berangkat dari sesuatu yang negatif dalam hal ini adalah sebuah pelanggaran, tetapi bagaimana mengembangkan sesuatu yang positif menjadi lebih baik. Dalam pembinaan pegawai hal demikian dapat kita terjemahkan sebagai upaya preventif. Pembinaan dalam sebuah literature dinyatakan sebagai suatu tindakan, proses, hasil atau pernyataan menjadi lebih baik. Pembinaan menunjukkan adanya kemajuan, peningkatan dan perkembangan atas sesuatu. Dalam pengertian ini pembinaan merupakan upaya untuk menuju sesuatu dalam konteks positif. Pembinaan pegawai dengan demikian merupakan suatu tindakan atau upaya agar pegawai menjadi lebih baik, berkembang dan menuju pada peningkatan. Namun pengertian pembinaan seringkali bahkan telah menjadi jamak diartikan sebagai sesuatu yang negatif. Pegawai yang dibina atau pembinaan terhadap seorang pegawai telah dikonotasikan bahwa pegawai tersebut telah “cacat” karena melakukan suatu pelanggaran baik terhadap peraturan disiplin pegawai, ketentuan jam kerja, pengelolaan keuangan, pelanggaran nilai-nilai kesusilaan atau tingkah laku yang menyimpang. Cakupan pembinaan pegawai diarahkan sebagai berikut :
Sebagaimana kerangka pembinaan yang dikembangkan Badan Kepegawaian Negara, pembinaan pegawai dibedakan menjadi 2 macam. Pertama, pembinaan preventif merupakan pembinaan untuk mencegah timbulnya permasalahan pegawai atau upaya meminimalisisr agar permasalahan-permasalahan kecil tidak semakin membesar atau lebih parah. Kedua, adalah pembinaan yang bersifat korektif, merupakan pembinaan dengan mengambil tindakan terhadap suatu pelanggaran yang bertujuan agar PNS yang melakukan pelanggaran bisa memperbaiki diri, memberikan efek jera dan tidak mengulangi pelanggaran di masa yang akan datang. Image bahwa pembinaan merupakan sesuatu yang menyeramkan, identik dengan menghukum atau berkonotasi negatif lainnya lebih disebabkan karena masih dominannya pembinaan yang bersifat korektif. Pada pembinaan ini pelanggaran sudah terjadi dan jelas terbukti, sehingga tahapan pembinaan berikutnya adalah penindakan atas pelanggaran tersebut berupa penjatuhan hukuman disiplin. Dalam pembinaan yang bersifat korektif seperti ini telah jelas ketentuan yang mengaturnya, tata cara dan prosesur penindakannya juga telah diatur sedemikian rinci. Sedangkan pembinaan yang bersifat preventif memang perlu terus dikembangkan secara kreatif.
Konseling pegawai merupakan salah satu upaya pengembangan pembinaan preventif dimaksud yang di Kabupaten Sleman dikemas dalam “Counseling Corner”. Konseling (konsultasi) dikenal sebagai pembimbingan atau penyuluhan yang meliputi pembahasan suatu masalah (dengan mengembangkan alternative pemecahan masalah) yang dihadapai seseorang dengan dibantu oleh seseorang/organisasi yang bertujuan untuk mengatasi masalah tersebut dengan sebaik-baiknya. Ciri-ciri konseling : 1) melibatkan dua pihak yakni pembimbing (konselor) dengan orang yang dibimbing (konsele), yang saling berkomunikasi dan secara khusus ditujukan untuk menyelesaikan masalah yang ada; 2) Konselor dapat bersifat professional/terlatih atau non professional namun dianggap mampu melakukan konseling; 3)bersifat bebas, rahasia dan meliputi segala macam permasalahan yang dapat mengganggu tingkat produktifitas. Melalui konseling ini permasalahan yang dihadapi pegawai baik di dalam pekerjaannya selaku aparatur maupun di luar pekerjaannya selaku individu dapat segera terurai, tidak membebani yang bersangkutan dan segera memperoleh solusi.
Stress yang berlebihan bila tidak memperoleh penanganan yang proporsional akan menimbulkan dampak yang tidak sehat, seperti kehilangan kemampuan mengendalikan diri secara utuh, perilaku ikut terganggu sakit, putus asa dan lain-lain yang dapat mengakibatkan terganggunya pelaksanaan pekerjaan dan terjadinya pelanggaran. Pegawai yang melakukan konseling menunjukkan adanya kemauan dari pegawai itu sendiri untuk segera menyelesaikan permasalahannya sehingga tidak mengganggu produktivitasnya. Hal ini menunjukkan pula bahwa ia peduli terhadap dirinya dalam menjaga ketenangan dan stamina kerja. Karenanya sterotip bahwa orang yang melakukan konseling terganggu jiwanya, “stress” bahkan sakit jiwa harus disingkirkan jauh-jauh. Melalui konseling ini pembinaan pegawai akan terasa lebih bersahabat, jauh dari menyeramkan dan diharapkan dapat menyelesaikan masalah sejak dini sehingga dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran yang lebih berat. Demikian halnya dengan angka perceraian yang cenderung mengalami peningkatan, melalui konseling pra nikah diharapkan rumah tangga yang dibangun pegawai negeri akan dapat lebih harmonis dengan mengetahui kelebihan dan kekurangan pasangan sejak awal dan mengetahui bagaimana mengantisipasinya. Pembinaan karakter yang seringkali menimbulkan pelanggaran berkepanjangan juga dapat dilakukan melalui pendekatan secara personal, bicara dari hati ke hati. Bukankah salah satu cara membina mental karakter, mengubah pola pikir yang telah mengakar kuat adalah dengan touching heart?
Pustaka Rujukan :
-
- Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.
- Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Kepegawaian Negara, Rancang Bangun Model Pembinaan dalam Rangka Meningkatkan Kinerja PNS, 2005.
- Mistiani, S.Sos, Pengaruh Kepuasan Kerja dan Stress dihadapkan dengan Konseling dalam Tingkat Produktivitas dan Prestasi Kerja Suatu Organisasi, Puslitbang, Strahan Balitbang Dephan.
- Pengaruh Pembinaan terhadap Perilaku PNS, BKN.
- Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Sleman, data diolah.
Be the first to comment